Warm Chocolate

Ciaossu! Larut banget nih. Waktu menunjukkan pukul ... 02:21. Akhirnyaa cerpen gue buat tugas B Indo selesai juga. Mungkin ga terlalu bagus, karena gue baru bikin hari ini dan selesai hari ini. Gue mau berbagi  nih, silakan dinikmati yaa! Cerpennya cukup panjang, yaitu tepatnya 2257 kata (penting ye buat diketahui?) . Okedeh langsung cekidot gan :

Warm Chocolate
Oleh : Jennifer Handali

http://www.public-domain-image.com/studio/slides/single-coloured-maple-leaf-on-white-background.jpg“Para penumpang yang terhormat, sesaat lagi kita akan mendarat di Bandara Hang Nadim Batam. Waktu setempat menunjukkan pukul 15.10 WIB …”
Levi tidak lagi mendengar kata-kata sang pramugari tersebut. Ia terlalu sibuk melamunkan bagaimana pertemuannya nanti dengan kakak laki-lakinya dan anak sepupunya yang masih kecil namun lincah itu, Neilvent. Kira-kira, mereka gimana ya? tanya Levi dalam hati. Apakah ganteng? Imut-imut? Sekilas, ia tersenyum kecil.
Ya, Levi Nadya, seorang gadis 18 tahun berkulit putih dan berambut ikal panjang itu sudah lama tidak bertemu dengan kakak serta sepupunya. Sejak 4 tahun yang lalu, ia tinggal bersama oom James dan tante Ina di Jakarta, sebab kedua orangtuanya meninggal akibat kecelakaan lalu lintas. Ia pun memutuskan untuk pergi dari Batam, kota kelahirannya, untuk melupakan kenangan pahit itu. Tetapi, kakak laki-lakinya ternyata berpendapat lain. Ia bertahan hidup di Batam bersama saudaranya yang sudah berkeluarga, Kak Denny.
Levi menggosok-gosok kedua lengannya. Dingin sekali udara di pesawat yang ditumpanginya itu. Sialnya, ia lupa membawa sweater coklat kesayangannya. Uuuhh… gerutunya. Ia berharap agar dapat cepat sampai di Batam dengan selamat.
  ~~

“Epiiiii!”
Levi merasa ia mengenal suara tersebut. Ia menoleh dan menatap orang yang menyebut nama kecilnya itu. Laki-laki yang ada di hadapannya tersebut ternyata sangat tinggi, membuat Levi harus menengadahkan kepala untuk melihat wajahnya. Ia sangat tampan dengan rambut coklatnya, lebih tua dari warna rambut Levi.
“Kak Ezra?” tanya Levi bingung. Ia takut salah mengenali orang. Ia hanya menyimpan fotonya bersama kakak laki-lakinya itu saat mereka masih kecil. Mereka hanya terpaut dua tahun, sehingga sangat dekat satu sama lain.
“Iya ini aku. Masa lupa sih, sama kakak sendiri yang keren gini?” canda Ezra sambil tertawa keras. Ezra pun memeluk erat adik tersayangnya itu.
“Idihh kakakk… Masih sama aja kayak dulu, narsis abis!” Levi membalas pelukannya dan tersenyum senang. Hangat, sangat berbeda dibandingkan di pesawat tadi.
Ezra membantu membawakan koper Levi dan mereka segera menuju ke mobil. “Epi gimana kabarnya? Baik-baik aja kan sama om tante?” tanya Ezra. Beberapa saat ia menunggu, tidak ada jawaban. Ezra menoleh ke samping dan mendapati adiknya tertidur pulas. Dasar kebo, bukannya di pesawat udah tidur? Belum juga 5 menit udah teler. Ezra menggeleng-gelengkan kepala, gemas akan “Epi”nya itu.
~~
http://www.public-domain-image.com/studio/slides/single-coloured-maple-leaf-on-white-background.jpgSore itu cerah, secerah hati Levi. Saat itu ia sedang berada di sebuah toko buku dekat rumah saudaranya. Levi memang suka membaca. Kamarnya yang di Jakarta penuh sesak dengan tumpukan novel serta komik yang telah dibelinya. Ia juga jago menggambar. Dulu, orangtuanya sering memuji gambar-gambarnya yang bagus dan menyarankan agar Levi menjadi seorang interior designer. Levi menundukkan kepala dan tersenyum kecut ketika teringat akan papa dan mama. Bukan.. gumamnya. Sekarang bukanlah waktu untuk bersedih. Ia lalu berusaha mengalihkan perhatiannya dengan membaca sinopsis novel yang sudah ada di tangannya itu.
Levi memiringkan kepalanya. Tidak terlalu menarik, pikirnya. Ia meletakkan kembali novel tersebut dan mencari yang lainnya. Kemudian matanya tertuju pada sebuah novel yang covernya berwarna coklat dengan gambar helai daun maple. Coklat! Musim gugur! Keduanya kesukaanku! jeritnya dalam hati. Ketika hendak mengambil buku tersebut, tanpa sengaja tangannya menyentuh tangan seorang laki-laki yang telah lebih dahulu meraih novelnya. Refleks, Levi buru-buru menarik kembali tangannya dan sedikit membungkukkan badannya ke arah laki-laki tersebut. “So..sorry…” ujarnya pelan lantaran kaget dan malu.
“Gak apa-apa kok,” jawab laki-laki tersebut dengan tenang sambil menyerahkan novel tersebut kepada Levi. Levi terdiam, menatap laki-laki jangkung berbaju biru tersebut dengan bingung. Wajahnya bersih mulus. Bahunya lebar dan dadanya bidang. Sepintas, tercium wangi sabun dari tubuhnya. Harum! kagum Levi.
“Ini,” katanya sambil tersenyum, mengagetkan Levi yang sedari tadi terpaku. Levi tersadar dari lamunannya dan merasakan pipinya memanas. Aduhh, jangan merah dong.. jeritnya dalam hati. Untungnya, laki-laki tersebut sudah tidak menghadap kepadanya. Ia telah meraih novel yang sama yang terletak di rak tersebut dan pergi.
~~
  
“Pesan red velvet cake dan cupcakesnya, ya mbak! Take away.” ujar Levi kepada sang pelayan cake shop. Sang pelayan menganggukkan kepala dengan sopan. “Baik. Maaf, mohon tunggu sebentar.” Toko tersebut cukup ramai. Tampak sang karyawan sibuk menyiapkan pesanan para pelanggannya. Levi duduk di sebuah kursi empuk di dekat kasir sambil memegangi perutnya yang sedari tadi bergemuruh minta diisi. Lapaaarrrr… gerutunya kesal. Rame gini, pasti lama deh..
Setelah membeli novel tadi, perut Levi tiba-tiba keroncongan. Ia merogoh tote bagnya tetapi tidak dapat menemukan apa-apa yang bisa dimakan. Di dalamnya hanya terdapat dompet, handphone, dan bungkus coklat yang sudah dimakannya. Levi memang selalu menyediakan cemilan untuk dimakan sewaktu-waktu dalam tasnya itu. Meskipun suka makan, tubuhnya tidak gemuk, malahan cukup ideal.
Levi memandang sekitarnya. Toko kue tersebut memang sudah lama berdiri. Dulu ia sering mampir ke sana bersama Kak Ezra. Tidak banyak perubahan, hingga sekarang masih nyaman. Hhhhh.. desahnya. Sungguh, ia kesal dengan dirinya sendiri yang terus mengenang masa lalunya yang kelam itu.
Tiba-tiba, pandangan Levi tertuju kepada seorang laki-laki yang sedang duduk di seberangnya, menyantap segelas coffee latte. Itu kan… cowok yang tadi? batin Levi bertanya-tanya. Dengan perlahan, ia berjalan menghampirinya.
“Ta.. tadi terima kasih, ya..” ujar Levi sedikit terbata-bata.
“Hmm?” Laki-laki tersebut menoleh. Menyadari Levi yang berbicara kepadanya, ia tersenyum hangat. “Sama-sama. Lagipula buku tadi tidak hanya satu kok.”
Gilaaa senyumnya manis banget… Levi terpesona. Sebelum makin hanyut dalam lamunannya, ia mengulurkan tangannya, memperkenalkan diri. “Oh, eh... Perkenalkan, namaku Levi Nadya.” Bodooohhh, apa yang kamu lakukan, Levi? makinya atas dirinya yang sering salah tingkah.
Sekilas cowok tersebut mengangkat alisnya, menatap heran pada Levi. Tapi kemudian ia membalas jabatan tangan Levi. “Salam kenal juga, aku Gerard.” Perkenalan yang jauh dari kesan formal. Pembicaraan mereka pun berlanjut mengenai diri mereka, novel-novel yang mereka sukai serta toko kue yang ternyata sering Gerard mampiri itu hingga akhirnya sang pelayan toko datang membawakan pesanan Levi.
~~

http://www.public-domain-image.com/studio/slides/single-coloured-maple-leaf-on-white-background.jpgWuuusssshhhhh…
Angin berhembus kencang memenuhi kamar Levi. Sengaja ia buka jendela kamarnya. Levi suka memandangi bintang-bintang yang bersinar terang di langit malam. Berkedip-kedip dengan indahnya. Rasanya, hatinya begitu damai malam itu. Levi memejamkan matanya, menghayati setiap lirik lagu Kerispatih yang mengalun dari handphonenya.

Tahukah engkau, wahai langit?
Aku ingin bertemu membelai wajahnya
Kan kupasang hiasan angkasa yang terindah
Hanya untuk dirinya

Lagu Rindu, lagu yang sangat pas menggambarkan suasana hati Levi saat itu. Ia sangat merindukan teman-temannya di SMP, terutama … Aduhh, siapa ya namanya? Kenapa aku gampang lupa? lirih Levi. Ya, Levi lupa akan nama laki-laki yang telah menjadi sahabatnya sejak lama itu. Ia begitu baik dan sopan. Sungguh dewasa dibandingkan laki-laki seusianya. Ia selalu memperlakukan Levi dengan manis. Terkadang, Levi merasa GR bahwa cowok tersebut suka padanya. Tapi pemikiran tersebut ditepisnya ketika melihat tingkah lakunya terhadap perempuan lain tidak jauh berbeda.
Levi masih mengingat jelas bagaimana rupa cowok tersebut. Berambut gondrong, agak jabrik, namun stylish. Ia begitu menarik dengan bola mata berwarna coklat tua. Ahh, lagi-lagi coklat.. gumam Levi sambil senyum-senyum sendiri. Coklat memang warna yang paling Levi sukai. Baginya, warna tersebut melambangkan sesuatu yang cukup abstrak. Bisa jadi petualangan, bisa juga sifat kehangatan.
Seperti laki-laki yang aku jumpai tadi.. Sebuah pemikiran terlintas dalam benak Levi. Kalau dipikir-pikir, rasanya aku pernah mendengar nama “Gerard”. Levi menepiskan tangannya, seakan bermaksud menepiskan pikiran bodohnya itu. Ya jelaslah, emang yang punya nama Gerard cuma dia? Levi begoo…
Tapiii… sifatnya juga mirip dengan sahabatku dulu itu… Sahabat yang terpisah gara-gara … Levi memukul-mukul kepalanya. Cukup, Lev. Masa lalu adalah masa lalu, ga perlu terus larut di dalamnya. Levi segera menutup jendela, meraih hp-nya, mematikan lagu yang sedari tadi masih diputar, dan menaruhnya di meja dekat lampu tidur berbentuk bintang. Kemudian ia membanting tubuhnya ke kasur dan memendam kepalanya ke bantal. Bulir-bulir air mata turun membanjiri wajahnya yang lelah.
~~

“Morning sunshine ~ udah bangun ya?”
Levi mengerjap-ngerjapkan matanya yang berat. Di hadapannya terdapat kakak laki-laki tersayangnya yang membawa nampan berisi sepiring sandwich dan segelas susu coklat.
“Kak Ezra?” tanya Levi setengah sadar. Ia memegang dan menggosokkan sebelah kepalanya. Mukanya putih pucat.
Ezra yang saat itu mengenakan kemeja putih rapi tampak sedih. Ia segera meletakkan nampan berisi sarapan tersebut di atas meja dan menghampiri adiknya. “Kenapa, Pi? Sakit ya?” Suara Ezra tertahan, menunjukkan rasa cemasnya.
http://www.public-domain-image.com/studio/slides/single-coloured-maple-leaf-on-white-background.jpg“Nggapapa kok, Kak. Cuma pusing sedikit…” jawab Levi berbohong. Ia sangat mengenal sifat kakaknya yang protective itu, sehingga tidak ingin membuatnya khawatir. Bisa-bisa, kakak membolos kerja hanya untuk menemani adiknya yang penyakitan ini.. tebak Levi.
“Bener ya? Awas kalo bohong!” gertak Ezra. Levi hanya tersenyum kecil. “Yaudah, ini kakak udah bawain sarapannya.” sahut Ezra kemudian.
“Makasih, yaa kakakku cintaku sayangku manisku..!” ujar Levi lebay, berusaha menunjukkan bahwa ia tidak apa-apa. Kak Ezra tertawa terbahak-bahak mendengar perkataan adiknya itu. “Dasar alay, lebay!”
“Biarin, kan Kak Ezra biasanya juga gitu, narsis lagi!” sindir Levi. “Lagian guru Bahasa Indonesiaku bilang, yang nuduh orang lain alay itu sendirinya alay!” Levi menyeringai.
“Huuu…” sorak Ezra. “Yaudah kakak berangkat kerja dulu ya.. Kamu jangan lupa makan! Jangan malas mandi juga, ya! Jangan ngerepotin Kak Denny! Terus jangan ganggu Neilvent juga ya!” nasihat Ezra sambil berjalan keluar kamar Levi. Busett, Kak Ezra cerewet amat sihh.. Kok bisa ya dia gitu.. Levi mengernyit, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Oh iya, tadi temenmu ada yang telepon, katanya mau mampir!” seru Ezra hampir tidak terdengar. Ternyata ia sudah berada jauh dari kamar Levi. “Siapa, kak?” tanya Levi sedikit berteriak. Namun, tidak ada balasan. Ezra sudah berangkat ke kantor, meninggalkan Levi dengan rasa penasaran akan hal yang tidak juga ia temui jawabannya.
 z``

Levi merasakan seseorang membelai lembut rambut ikalnya. Begitu nyaman. Apakah ini mimpi? tanyanya dalam hati, berharap itu bukan. Kak Ezra kan udah pergi tadi?
Perlahan, Levi membuka matanya dan mendapati seseorang duduk di sisi ranjang menatapnya dengan … mata yang memancarkan rasa sayang? Terdapat kehangatan dalam matanya yang dapat membuat Levi tertegun.
Kehangatan? Coklat? Gerard? Nama tersebut melintasi pikiran Levi. Benar dugaannya, orang tersebut adalah Gerard!
“Loh.. kok kamu ada di sini?” tanya Levi sambil berusaha bangun dari posisi tidurnya.
“Kan tadi udah telepon, terus diangkat Ezra. Kamu sakit ya?” Gerard bertanya kembali.
“Ehh… ngga kok, siapa bilang?” jawab Levi, lagi-lagi berbohong.
“Kamu ngga bisa sembunyi-sembunyi dari aku.” ujar Gerard sambil tersenyum misterius. Levi merasakan ada sesuatu yang mengganjal dari pernyataan Gerard.
“Maksud kamu?”
“Epii, kamu lupa ya sama aku?”  kata Gerard. Ia menatap lurus ke arah Levi. “Ini aku, Gery sahabat kamu dulu!”
Levi terdiam. Jadi benar apa yang dia pikirkan waktu itu. Gerard memang sahabatnya saat SMP itu! Gery yang selalu ia rindukan, Gery yang selalu menghiasi mimpi malamnya. Gery, pangeran hatinya yang selalu ia tunggu dengan setia untuk bertemu kembali itu. Levi menundukkan kepala, perasaannya campur aduk. Antara senang, terharu, lega, dan takut.
http://www.public-domain-image.com/studio/slides/single-coloured-maple-leaf-on-white-background.jpgLevi senang bisa bertemu kembali dengan orang yang ia sayangi itu. Ia terharu dan lega, bahwa pertemuan mereka setidaknya berjalan cukup lancar meskipun harus melalui perkenalan lagi. Pantas saja reaksi Gerard waktu itu aneh! Pantas saja ia dan Gerard punya banyak kemiripan, dari selera humor, novel dan makanan, karena dulu mereka sering berbagi. Berbagi suka dan duka, berbagi tawa dan tangis. Berbagi rasa.
Tapi.. ia takut. Levi takut bila berteman dekat dengan Gerard, ia akan kembali teringat akan orangtuanya. Levi takut ia malah semakin terpuruk kepada masa lalu. Ia takut bila usahanya selama ini untuk melupakan kejadian masa lampaunya yang kelam itu sia-sia. Ia takut… Banyak sekali hal yang ia takuti. Tak terasa, Levi meneteskan air matanya.
Gerard yang sedari tadi menunggu jawaban Levi semakin cemas. Ah, Epi… Jadi kamu sudah melupakanku? batin Gerard bertanya, perih. Padahal, baru empat tahun, setengah windu, kamu pergi dariku, dari Batam, pulau tempat kita tinggal.
Epi, paling tidak aku ingin kamu tahu, bahwa aku selalu ingat akan kamu. Aku tidak pernah melupakanmu. Aku masih ingat, rambut kamu yang panjang, ikal, dan berwarna coklat tua itu. Aku juga ingat lesung pipit yang tampak ketika kamu tersenyum. Kamu jadi begitu lucu. Dan menarik.
Epi.. aku mengerti kok kalo kamu ngelupain aku. Tak apa-apa. Itu bukan salah kamu, maupun orangtuamu. Ah, aku jadi teringat cerita kamu mengenai berita duka tersebut. Kejadian saat kedua orangtuamu pulang naik motor. Hari itu memang sudah cukup larut dan gelap. Ketika tiba di perempatan, orangtuamu terhalang oleh lampu merah, sehingga mereka memelankan kecepatan motor, dan berhenti. Namun.. hal pahit itu terjadi.. Dari belakang, muncul sebuah truk yang berusaha menerobos lampu merah. Truk tersebut melaju kencang, menabrak kedua orangtuamu, menyeret mereka, dan menewaskan mereka. Tragis.
Epi, maafin aku bikin kamu teringat lagi tentang hal itu. Aku memang payah.. Tapi Epi, aku akan bertanggung jawab. Aku berjanji, akan menghilangkan traumamu pada motor. Aku berjanji, akan membantu kamu dalam melanjutkan hidup, tanpa harus terpuruk dalam masa-masa lalu tersebut. Epi, ingatlah. Tuhan memberikan kita cobaan yang pasti dapat kita lalui. Dan cobaan tersebut pastilah ada maksud tertentu. Cobaan tersebut akan menguatkan hatimu. Jangan jadikan cobaan tersebut sebagai halangan untuk maju.
Epi.. tahukah kamu? Meskipun dengan kecepatan bagai berjalan santai, kamu telah mengambil satu langkah maju, menuju masa depan. Cobaan adalah tantangan hidup. Jika kamu dapat melaluinya, kamu dapat meraih kesuksesan, kebahagiaan. Kegagalan tidak berarti buruk. Dengan kegagalan, kamu bisa belajar dari kesalahan, tidak mengulanginya, hingga mendapatkan jalan yang tepat. Epi, kamu percaya kan sama aku?
Epi… Tiba-tiba Levi memeluk erat Gerard. “Makasih, ya Ger…” Ia terisak.
http://www.public-domain-image.com/studio/slides/single-coloured-maple-leaf-on-white-background.jpg“Kenapa, Pi?” Gerard membalas pelukan Levi dengan erat. Membelai lembut rambut Levi. Semenit, dua menit, Levi tidak menjawab.
Eh? Apa aku barusan mengatakan semua yang aku pikirkan? Gerard tersadar.
“Epi.. aku sayang banget ama kamu… Jangan nangis dong.. Jelek ah..” canda Gerard.
Levi melepaskan pelukannya. “Ihh, Geryy jahattt! Cantik gini kayak model!” sambut Levi dengan sedikit bergaya.
Gerard tertawa. Tangannya mengelus pipi Levi, menghapus air matanya. “Yee dasarr, kakak adik sama aja, NARSIS ABIS!” sengaja ia tekankan kata yang terakhir itu.
Levi ikut tertawa. “Biarin, yang penting hepiii!” Levi tersenyum lebar. Ia yakin, laki-laki yang ada di hadapannya inilah orang yang tepat. Ia yakin, bahwa Gerard yang kini memandanginya dengan bola mata coklat tua dengan penuh nuansa kehangatan itu,  tak akan mengecewakannya. Dan ia yakin, cinta mereka akan bertahan selamanya.

http://www.public-domain-image.com/studio/slides/single-coloured-maple-leaf-on-white-background.jpg


Komentar